Thursday, December 01, 2011

Day 1 : Macan Bandung

Day 1: “7 hari menulis dongeng”

Macan Bandung

- ----- Panglima Dungdang tertegun untuk sementara, ini pertanda dia harus kembali pulang ke Kerajaan Candrabi atau memutuskan perang dengan para binatang buas ini ---

Dahulu kala jaman sebelum mahesi di pulau jawa,

Jawa barat saat itu terisolasi dari lingkungan luar, sebagian besar lahannya merupakan tanah hutan belantara dengan pohon-pohon tinggi besar berdiamater 1-2 meter. Hanya ada beberapa desa disana. Para penghuninya merupakan binatang-binatang. Binatang buas seperti macan dan ular sanca berbaur bersama-sama. Di salah satu desa, hiduplah seorang anak perempuan kepala desa yang bernama Syiban, bermuka kucing tapi berbadan macan. Dia adalah anak tunggal dari pasangan suami istri penanam ubi. Ayahnya adalah macan asli dan ibunya adalah kucing hutan blasteran, mereka sekeluarga adalah vegetarian.

Kerajaan Candrabi yang kala itu berkuasa di wilayah Jawa timur merupakan Kerajaan yang seluruh rakyatnya adalah manusia . Raja Candrabi terobsesi untuk menguasai seluruh pulau jawa, setelah sebelumnya mereka berhasil menduduki wilayah Jawa tengah yang dikuasai oleh Kerajaan Majalaya dengan damai. Setelah Jawa tengah diduduki, Raja mengutus salah satu panglima nya yang bernama Dungdang untuk melanjutkan perjalanan menuju wilayah barat. Panglima Dungdang ini berperawakan tinggi, berwajah rupawan. Raja sengaja memilihnya karena Dungdang masih bujangan dan bisa berjalan-jalan tanpa khawatir akan anak dan istri dirumah. Tidak seperti panglima-panglima Raja lainnya yang sudah tua dan berkeluarga.

Kali ini Panglima Dungdang hanya membawa seratus satu pasukannya berjalan kaki menuju barat sebagai tim ekpedisi. Kadangkala mereka berlari-lari dan menggelinding apabila telah melewati bukit ataupun gunung yang tinggi. Ini dikarenakan jalannya menurun, jadi sekalian saja mereka berlari, malah sebagian pasukannya yang masa mudanya tidak bahagia, menggelindingkan diri sendiri di areal penurunan ini, sembari bertawa-tawa cekikikan layaknya anak kecil.

Alkisah Panglima Dungdang dengan langkah kakinya yang paling cepat berada di posisi paling depan, dan diikuti seluruh pasukan dibelakangnya telah sampai di salah satu pinggiran desa di Jawa barat. Dia terkaget-kaget, terheran-heran dan bercampur takut ketika didepannya bertemu dengan macan yang sedang menanam ubi. Macan itu pun kaget melihat kedatangan manusia di desa nya. Segera macan itu mengaum “Auuuuum”, sebagai tanda untuk memanggil teman-temannya. Sementara itu Panglima Dungdang mempersiapkan senjata andalannya yaitu pedang halilintar yang ia peroleh ketika bersemedi ditengah-tengah hujan deras di gunung bromo.

Auman macan itu membuat Syiban yang tak jauh dari lokasi menanam ubi segera datang. Rupanya macan itu adalah ayahanda dari Syiban. Syiban berbisik kepada ayahnya “ini pertama kalinya aku melihat manusia, ternyata elok benar rupanya”. Lalu dalam hitungan menit, puluhan macan, ular sanca dan binatang lainnya berdatangan. Mereka mengitari seluruh pasukan Panglima Dungdang dari segala penjuru. Seluruh pasukan mulai ketakutan, karena yang di hadapinya bukanlah manusia. Tapi para binatang buas.

Panglima Dungdang yang mulai was-was lalu berkata “Wahai macan dan teman-temannya, kami dari Kerajaan Candrabi ingin mengambil alih wilayah Jawa barat dengan damai”

Ayahanda Syiban yang seakan-akan tahu rencana itu lalu menjawab, “Disini bukan tempat untuk manusia, tidak selayaknya dipimpin manusia”.

Panglima Dungdang tertegun untuk sementara, ini pertanda dia harus kembali pulang ke Kerajaan Candrabi atau memutuskan perang dengan para binatang buas ini. Lalu Dungdang mengajukan negosiasi dengan berkata, “bagaimana jika kita bangun Jawa barat bersama-sama”. Pasukan panglima Dungdang terheran-heran mendengar perkataan panglimanya sendiri. Panglima Dungdang rupanya sadar kalau kondisi peperangan berat sebelah, dan pasukannya sudah diserbu dari segala arah oleh binatang buas, dan pantang baginya kembali pulang ke Kerajaan Candrabi tanpa hasil.

“Oke, tapi ada syaratnya” ujar Ayah Syiban. “Kamu harus menikahi putriku yang saat ini berada disebelahku”, lanjutnya. Panglima Dungdang pun terperanjat. Dalam hati Ayahanda Syiban ingin anaknya menikah dengan manusia agar cucunya nanti bisa rupawan dan cantik. Syiban pun sebelumnya sudah membisikkan kata-kata ke ayahnya kalau dia menyukai manusia.

Tanpa banyak pilihan, Panglima Dungdang menyetujui penawaran itu, dan menyuruh sebagian pasukannya ikut serta tinggal di Jawa barat. Tidak lupa dia menyuruh sebagian pasukan lainnya untuk mengabarkan ke Raja Candrabi agar tidak berusaha mengambil alih Jawa barat lagi.

Syiban dan Dungdang akhirnya menikah dan membentuk berkeluarga. Dundang yang sebelumnya takut akan macan pun mulai mencintai Syiban. Anak pertama mereka adalah perempuan, dan benar-benar mirip seperti manusia. Ketika dewasa, anak perempuan mereka itu wajahnya sangat cantik, mirip dengan ayahnya yang rupawan dan body nya aduhai seperti ibu nya yang peranakan kucing dan macan.

Desa itu lalu diberi nama dengan desa Bandung, yang merupakan singkatan dari nama Syiban dan Dungdang. Hidup mereka aman dan sejahtera tanpa ada yang berani mengganggu, ini dikarenakan pasukannya Panglima Dundang juga telah membentuk keluarga dengan para binatang didesa itu dan membentuk pasukan binatang jadi-jadian untuk melindungi desa Bandung dari segala ancaman luar.

Note :

Banyak wanita di kota bandung di juluki dengan macan bandung, karena memang mereka asli keturunan macan, hihihihi…, *mojang bandung kali itu mah yee

2 comments:

danze said...

hooo berarti saya macan bandung juga... *hayangna...*

Ananto Veryadesa said...

so pasti donk donk donk, hihihi.. macaaan auuumm....