“7 days to write about a person that I admire the most”
Prof Dr. Suparno Eko Widodo, MM.
One of his quotes “Keep your life modest, even though you have more money to spend, have a high position in your job and you can do what poor people cannot do”
Yang saya artikan dalam bahasa Indonesia, “Jalanilah hidupmu dengan sederhana, meski kamu sudah punya uang yang cukup untuk berfoya-foya, dan dirimu sudah punya jabatan tinggi sehingga bisa melakukan apa yang orang miskin tidak bisa lakukan”.
Suparno lahir tanggal 10 November 1953. Pasti tidak ada yang menyangka kalau awal mulanya dia hanya lah anak tunggal dari seorang bapak dan ibu petani di sebuah desa yang bernama Desa Rengel. Sedari kecil sudah ditinggal ayahnya yang meninggal karena diinjak tentara Belanda. Sejak itu ibunya yang bernama Juwairiah beralih profesi menjadi pedagang sayuran di Pasar Rengel, karena tidak sanggup sendirian menjaga ladang sawah. Suparno di didik sedemikian rupa dilingkungan yang alakadarnya. Sejak kecil tanpa bapak. Makan hanya nasi beserta lauk seadanya dan sudah pasti badannya kurus kerempeng di masa mudanya. Tapi itu tidak membuatnya patah semangat untuk terus sekolah, berprestasi dikelas dan membanggakan ibu nya. Madrasah iya tamatkan dengan prestasi diatas rata-rata. Dan cita-citanya untuk bisa kuliah di perguruan tinggi yang bernama Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) akhirnya tercapai, meski biaya untuk kuliah saat itu mahal, dan ladang sawah orang tuanya pun harus dijual untuk biaya kuliah.
Kehidupan Jakarta yang keras tidak membuatnya patah semangat, selesai kuliah ia melamar sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (saat ini Depdiknas –red). Saat itu bekerja di PNS merupakan jabatan yang sangat prestisius, meski dengan gaji yang standard. Kecuali, pegawai itu melakukan tindak KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) , pastilah hidupnya bergelimangan harta.
Jalur pegawai negeri ia lalui dengan normal dan tanpa korupsi hingga umurnya sudah 54 tahun dan itulah yang membuat jabatannya tidak pernah tinggi-tinggi dan gaji seadanya. Tidak seperti pegawai-pegawai muda dan teman-teman seangkatannya yang karena kedekatannya dengan partai-partai besar, apalagi perwakilan partai besar itu menduduki posisi menteri, pasti para pegawai yang menjilat, bahkan memberi sejumlah uang tertentu, sudah pasti akan diangkat jabatannya. Tapi Suparno tidak pernah mengeluh melihat kondisi itu, disempatkannya sekolah S2 dan S3 ketika dia masih menjadi PNS karena memang ketertarikannya akan manajemen, pengembangan sumber daya manusia dan ilmu pendidikan.
Sampailah pada suatu hari dia mendapat ajakan untuk menjadi dosen di IKIP (sekarang Universitas Negeri) Jakarta pada saat usianya yang sudah mendekati pensiun. Pada saat itu UNJ memilih Suparno karena pengalamannya yang sudah malang melintang di bidang pengembangan sumber daya manusia di Depdiknas. Bisa saja saat itu Suparno memilih untuk menikmati dana pensiun, seperti yang dilakukan mayoritas PNS pada umumnya. But he say “no” untuk pensiun. Dia mengambil tawaran dari UNJ, meski kariernya harus dimulai dari “nol” lagi di universitas itu. Bayangkan, awal mulanya dia mengajar hanya sebagai asisten dosen, padahal dia lulusan S3. Hingga akhirnya setelah beberapa tahun dia mendapat kesempatan untuk menjadi dosen tetap untuk mengajar mahasiswa S1 dan setelahnya dapat mengajar untuk mahasiswa S3.
Prestasi puncak akhirnya diperoleh setelah ia dikukuhkan menjadi Guru Besar Universitas Negri Jakarta. Bukan saja membanggakan keluarganya. Warga desa rengel pun bangga, karena Suparno merupakan satu-satunya orang desa yang mendapat penghargaan tertinggi di perguruan tinggi dengan menjadi Guru Besar dan bergelar Profesor.
Note : Prof Dr. Suparno Eko Widodo, MM adalah Ayah Saya. Guru Besar Universitas Negeri Jakarta, dan saat ini masih mengajar untuk mahasiswa S3. Terima kasih telah membanggakan keluarga. Terima kasih telah menjadi sumber inspirasi bagi anak-anakmu
1 comment:
Luar biasa, setelah 20 tahun tidak bertemu, beliau tetap sayang dan mulia hati nya, beliau sosok yg perlu di tauladani dalam banyak hal, terimakasih telah memberi kesempatan lagi untuk bertemu beliau setelah 20 tahun tidak pernah ketemu,
Post a Comment